26 April 2014

Sekolah VS Kuliah

Beberapa hari ini, lebih sering berada di luar zona aman. Ya, di sekolah dan di ‘luar’ kampus. Lebih giat mendatangi sekolah untuk melakukan penelitian studiku. “Ibu…” Aha…mulai terbiasa lagi dipanggil itu oleh siswa. Terakhir, 3 semester yang lalu saat PPL.
Di sekolah, seperti biasa, aku cenderung mengamati ‘penghuni’ disana. Ku perhatikan perilaku siswa pada guru, sesama siswa, dan sesama guru. Begitu unik dan menarik. Cara mereka belajar, pola pikir mereka dan pergaulan mereka.
Memang begitulah siswa, dengan ragam karakter dan intelijensi. Ahiya, aku ingat ucapan seorang Guru di sekolah ini; “Bunda” biasanya beliau dipanggil siswa, “Ibu tidak pernah bermasalah dengan siswa. Bagi Ibu, mereka itu semua sama. Tidak ada yang bodoh, tidak ada yang nakal…” Jarang ada guru (matematika) se’canggih’ ini. Atau mungkin aku yang link nya sempit ya..??? :p
Saya ingat beberapa nasihat mutiara dari guru saya ….
Lebih baik kalian menjadi bangkai di dalam hutan daripada tinggal di dalam masyarakat. Kalau di hutan, orang tak akan tahu ‘busuknya’ kalian. Tapi, kalau di dalam masyarakat, “busuknya” kalian akan tercium dan dijauhi orang.” (Ibu Nurlela Harahap, Guru IPA SMP N 4 Plg)
Setelah kalian menyalami guru,jangan langsung berbalik (badan). Mundurlah dulu beberapa langkah.” (Ibu Rubayah, Guru Bahasa Indonesia SMA N 18 Plg)
***
Nah, kalau di ‘luar’ kampus… Ceritanya, saya mendapat tugas mulia dari Dosen saya, menggantikan beliau masuk kelas. sekedar untuk menjaga mahasiswa yang diberi tugas individu. Pukul 08.10 aku berada di ruangan itu. Cukup terlambat 10 menit karena ada kendala. Tapi, kendala sebenarnya bagiku adalah, mahasiswa yang hadir hanya 7 orang. Saat aku masuk, aku yang paling cantik. Ngerti?
Setelah ku memastikan ruangan ini benar, ku meminta mereka mengambilkan absen. Ku harap mereka langsung bergerak mengambilkan. Tapi nyatanya, harus ku ulangi permintaanku. “Kalian dak punya absen?” Itu pun masih belum bergerak. (Sebenarnya mereka ini manusia bukan? Aarghhh!) Dengan sedikt cengengesan, barulah salah satu dari mereka mengambilkan. Kalau saja aku tahu persis sudut gedung ini, pastinya telah ku ambil sendiri.
Aku terheran dan merenungkan sesuatu. Apa mereka terbiasa melakukan hal ini ke dosen? Kuliah jam 8, baru datang 7 orang. Jam 8.30 baru (hampir) lengkap. Adalah wajar kalau mereka itu rumah/kosannya di luar daerah. Lah, ini… kampus dan tempat tinggal masih 1 daerah! Belum lagi, sebagian dari mereka punya kendaraan pribadi yang memustahilkan mereka terlambat hadir, kecuali faktor alam. Tapi yang ada? Astaghfirullaaaah…
Belum lagi, aku mengingat ungkapan dosenku ini di hari sebelumnya, “mahasiswa (menyebutkan salah satu fak) dak galak nian kalo ganti hari. Misalnyo, mereka tu ado yang kosong, aku nak nambah jam, dak galak mereka.” Haaah?? Alangkah beraninya oknum mahasiswa (sekarang) menolak ‘ilmu’. Mungkin mereka belum pernah nonton ‘3 idiots’ ya.. Kalian mau nyari ilmu apa cuma nilai sih? -_-“
Nah, sewaktu PPL kemarin, aku terlambat, berbarengan dengan seorang siswa yang rumahnya masih sekampung denganku. “Ngapo telat jugo?” “Yo dak pacak Bu, kadang macet. Kan jao. Laen kalu aku motor..” Aku menyimpulkan senyum. Ah, ini mengajari kita untuk tak bermanja, Nak.
Entah, ini luapan emosiku (mungkin). Tapi, cobalah mereka menyadari, betapa beruntungnya mereka yang menjenjangi bangku kuliah dengan fasilitas plus plus. Andai mereka terbiasa merakyat, akan mereka temui pengamen, para remaja di tepi jalan, yang begitu menginginkan sebuah title, “mahasiswa”.
Apakah ‘mahasiswa’ dengan berlakon seperti itu masih perlu dimaklumi sebagai ‘siswa’? Rasanya tidak! Mahasiswa sudah harus mandiri, mulai sadar diri, mengaktivasi segala potensi. Memperoleh ilmu untuk dimanfaatkan, bukan mengejar nilai untuk dibanggakan. Bukan lagi untuk bermanja, dibangunkan orang tua untuk mandi. Atau dimandiin juga? Oh nooooo!!! Berhenti sajalah jadi mahasiswa..
Sungguh disayangkan aku tergolong ‘cukup ideal’ dalam pemikiran. Jika ada larangan, jangan dilakukan. Jika ada perintah, segera lakukan. Ini bukan tentang bisa atau tidaknya kita mengamalkan ilmu, tapi lebih dari itu. Mau atau tidaknya kita memperoleh ilmu..

Kalau seperti ini, aku jadi tertarik mendidik mahasiswa..

#RefleksiSesepuhSemesterSepoeloeh

05 April 2014

Tentang Ibu..

Berapa banyak yang menggambarkan sosok ini dalam untaian kata? Humm,, mungkin sebanyak tan 90. Yang berarti tak hingga atau tak terdefinisikan. Dan semua yang ia lakukan, mungkin juga sebanding, ah tidak.. lebih dari tan 90..
Aku hanya ingin bercerita tentang sosok Ibuku.. Yang hanya milikku.. Hehe

Ibuku ini tergolong mudah kikuk sebenarnya. yaa.. walaupun beliau kurang menyadarinya. Ia tak akan berbicara pada siapapun kalau gak kenal.. Gua mah (kadang) suka ngobrol, meski belum kenal. Baik ya? *Gak nyambung!

Tidak menyelesaikan Sekolah Dasar tak menjadikannya alasan untuk tak menjadi wanita luar biasa. Kalau ceritanya didengar, dari masa belia, beliau sudah terbiasa bekerja keras membantu orang tua, belajar agama, dan satu lagi, MEMBACA (!) Iya, beliau mengakui sangat menyukai cerita-cerita, misalnya saja cerita perwayangan (mahabharata-red), 'kisah' jenderal yang 'tetiba' hilang di zaman orba, de el el. Karena inginnya, sampai-sampai harus merogoh uang untuk membeli buku atau koran sembari duduk menjaga warung.  Terlahir dari lelaki sholih (ustadz) asli bujang Plembang dan Ibu cantik (aku masih sempat melihat almh) yang harus berusaha menghidupi keluarganya dengan berjualan makanan di daerah kantor walikota Palembang (saat ini). Malam sampai menjelang fajar. Oh iya, Masjid Istiqomah yang lokasinya di depan kantor itu adalah tempat beliau belajar agamanya. 

Dan kebiasaan beliau ini, masih membekas sampai saat ini. Bekerja keras, belajar agama, dan (tetap) membaca serta menghafal surah-ayat Al Quran pilihan. Walau memang belum terlalu fasih dengan tajwid-nya (menurutku), semangat beliau menghafal itu memberiku dercak kagum. Ia masih menambah hafalannya. Sedang aku, hikshiks..tak usah ditanya. Saat ini saja, ia masih berusaha keras menghafal Asmaul Husna dengan cara dan nada biasa. Terkadang aku suka mengompori dengan kepiawaianku menghafal Asmaul Husna dengan nada. Hehe.. Tetap saja, aku masih kagum pada usahanya itu. Di usia 65 tahun lebih ini, ingatannya masih sangat baik. Bahkan, aku-lah kadang yang mudah lupa. Ini pasti karena kebiasaanku yang malas membaca. *ketok!

Ohiya, masakan beliau paling eeenaaak sedunia-akhirat.. :D Betapa ruginya aku jika tak belajar langsung pada 'Dayang Utama Dapur Kerajaan' kami ini. Sembari menyelesaikan studiku, ku sempatkan belajar dan terus belajar masakan-masakan rumahan yang sederhana dan lezatnya tiada banding. Bisa sih masaknya, tapi masih enak masakan Ibu.. Hikshiks :)

Ah iya, mengenai studiku, beliau orang pertama yang tahu betapa rapuhnya aku. Yang sering beliau katakan, "hidup adalah perjuangan. Jalani bae.." Iya bu, ku jalani.. Tapi bintang-mu saat ini sedang redup. Hehe
Aku hanya ingin skripsi itu sebuah pengabdian terakhirku menjadi mahasiswa S1, bukanlah sebentuk tekanan mahasiswa akhir yang akhirnya berujung kesia-siaan. Aku ingin sempurnakan akademik-ku, Bu. Agar ia menjadi amal jariyahku suatu saat nanti. Itu saja..

Walau termakan usia, Ibuku selalu cantik.. :)